Desember 2010

 LAUTAN PERSAHABATAN

Indahnya persahabatan seperti sisem pencahayaan sang kunang – kunang ditengah kegelapan, bagaikan setetes embun ditengah sahara, dan umpama sebuah lilin yang menghangatkan di tengah dinginnya malam.

“Aw. . . . . . sakit kawan, pelan-pelan sajalah kau memijat kakiku !” sela Iman saat Haikal memijat kakinya yang memang terkulai seperti tertimpa beton 10 Kg.

“Santailah boi, . . .. .! ” jawab Haikal dengan senyum khasnya. Terdengar pula suara tawa Sandi dari  luar tenda tempat mereka merebahkan tubuh lelah.

“Dasar kau anak rumahan, baru jalan 40 Km saja kau sudah seperti Ngkong Amin, . . “ Gumam Sandi

Mereka bertiga pun tertawa hingga gemuruh ombak lebur tertutupi.

Ya, memang baru kali ini Iman melakukan perjalanan jauh dengan berjalan kaki, biasanya hanya dua kilometer  yang ia tempuh menuju sekolahnya. Ketertarikan Iman diawali saat ia mendengar percakapan dua orang sahabatnya, Haikal dan Sandi. Hari itu, Haikal dan Sandi duduk di depan kelas XII IPA 4, mereka bercakap- cakap mengenai rencana gila yang akan mereka lakukan.

“Boi, . . Liburan tahun ini ada rencana ?"  Tanya Haikal

“Bagaimana kalau kita ke laut, kawan ? “ Jawab Sandi

“Wah, Seru tuh Boi,” sela Iman .

“Tapi kita sering pergi kelaut, tak asyik lah kawan kalau tak ada yang beda. . . . . . . .” tambah Iman

Santailah kawan, banyak jalan menuju Roma, . . . . . . .” jawab Sandi dengan enteng seperti kapas yang tertiup angin.

“Maksud kau kawan . . . . . ? ? ?” Iman terheran

Memang, Sandi adalah anak yang kreatif, penuh ide, misterius pula. Entah apa yang menyebabkan hal itu. Mungkin kebiasaan nya memakan telur mentah penyebabnya.

“Dengarkan baik – baik !! ! Bagaimana kalau kita pergi ke laut dengan berjalan kaki?"

“Hah . . . . . gila kau, dari sini kelaut kan jarak nya jauh, . . bisa gempor aku.” Protes Iman.

Tapi hal itu berbeda dengan pendapat Haikal. Anak yang jenius itu bersemangat menanggapi. Memang bocah yang satu ini memiliki kemauan yang tinggi, walaupun tubuhnya tak setinggi kemauannya. Dengan penuh antusias  disertai semangat yang membara dia menyela

“ Seru tuh” . . . . . . .

“Seru dari Hongkong? Gila kalian” . .  jawab Iman, anak manja yang memang tak ingin jauh dari orang tuanya itu.

“Ya, , , , terserah sih, kalau kau tak mau ikut, ya sudah jangan ikut,  . .. .gampang kan ???” tegas sandi sambil berlalu meninggalkan. Begitu pula yang dilakukan oleh Haikal.

Seperti ayam yang menelan karet gelang, Iman hanya terpaku tersambar petir kekaguman yang mendadak meledak ditengah hari yang panas nan cerah.

“Merekalah para pemimpi yang menjadi impianku.” . . . . bisik Iman tak terkatakan.

Esok harinya, Iman menyatakan keinginannya untuk ikut serta dalam perjalanan menaklukan impiannya itu. Ada sedikit perasaan ragu yang tertambat dihati Iman, tapi keinginan untuk menjadi lebih baik dan lebih baik lagi, mengalahkan segalanya. Dua orang pemimpi kelas kakap yang menginspirasi dirinya. Bukan, . . . mereka bukan pemimpi gadungan, mereka adalah pemimpi sejati yang berusaha menggapai langit dengan jalan apapun, meskipun dengan resiko yang mungkin menyakitkan, seperti terjatuh.

“Nah gitu dong, itu baru Iman yang aku kenal” . . . .kata Haikal

Seucap kata yang diucapakan Haikal semakin memantapkan hati Iman untuk menggapai langit bersama para pemimpi itu.

“Oke, hari minggu tanggal 12 Desember kita berangkat, deal ? ? ?” . . . .tanya Sandi

“Deal . . . . . .” serempak Haikal dan Iman menjawab.

Akhirnya, seperti hujan yang jatuh deras diatas bumi, sama halnya dengan hari minggu yang datang menghampiri. Begitu cepat tak terasa. Hari itu, embun pagi menyelimuti tiga orang anak, seakan tak rela meninggalkan mereka yang bercita – cita menggapai langit, mentari tersenyum karena akan kedatangan tamu dari bumi.

Disertai restu orang tua yang menenangkan mereka, ketiganya pun berangkat dengan penuh semangat.

Waktu menunjukan pukul 08.00 pagi saat mereka baru menempuh jarak 10 Km. Masih jauh memang,  panjangnya jalan yang harus mereka tempuh. ± 30 Km lagi.  Tapi karena tekad yang membara dalam hati, dan bayangan sunset laut yang terus menghampiri mereka, membuat ketiganya terus melangkahkan kaki walau bagai terjerat besi 50 Kg.

Hari itu, tubuh Iman seakan terbakar saat jam menunjukan pukul 2 siang. Kakinya melepuh seperti beratraksi debus dengan berjalan kaki diatas bara api, tulangnya terasa patah seakan tertimpa reruntuhan puing – puing bangunan saat gempa yang ditimbulkan oleh meletusnya merapi. Mulai muncullah bisikan bisikan yang hampir – hampir membuatnya kembali ke pangkuan orang tuanya. Tapi, dua sosok segera menyadarkannya. Mereka bak malaikat yang turun dari langit, seperti angin sepoi – sepoi yang berhembus di tengah panasnya hari.

“ Hei  . . . . ada pa dengan kau ? ? ? tinggal sepuluh kilometer lagi kawan, berusahalah, . . . ! ! !" Ucap Haikal dengan penuh semangat.

Sekali lagi Iman di kejutkan dengan semangat sahabat nya itu, . . . Ucapan itu membuat hati Iman kembali bergemuruh, seperti sepeda motor yang baru saja diganti pelumasnya. Tiba-tiba muncul kekuatan dari dalam diri Iman yang memang selama ini  terkenal manja.

Lima kilometer menuju bibir pantai, Iman sudah tak kuat lagi berjalan, tulang – tulang nya benar –benar kekurangan kalsium kali ini, kram otot mulai menghampiri.

“ Aduh kawan aku sudah tak kuat lagi  . . . .” tegas Iman.

Akhirnya dia pun terjatuh, tak kuat menahan beban tubuhnya sendiri. Saat seperti itulah memang gunanya sahabat, dengan teliti dan hati – hati, Haikal memijat kaki Iman, sampai akhirnya dewa penolong datang.

“Hei, kalian kenapa? ? ?” Tanya seorang pengemudi yang mengendarai sebuah mobil bak pasir.

“ Ini pak teman kami kram, . . . . .” jawab Sandi

“ Oh, . . kalian mau ke laut kan??? naik lah kebetulan bapak juga mau ke arah laut” 

Seperti mendapat hadiah lotre, ketiganya terlihat bahagia dengan hal tersebut. Lansung saja Iman dipapah naik ke atas colt tersebut.  Selama perjalanan lima kilometer itu, Iman terharu dengan apa yang telah dilakukan sahabatnya.

“Sungguh besar kekuasaan-Mu ya Allah, kau berikan sahabat seperti mereka dalam hidupku, . .." bisik Iman tak terkatakan.

Hei . . . hei . . . lihat anak mamy nangis, “   ejek Sandi

Iman hanya tersenyum merespon, , , ,  Setelah beberapa lama, akhirnya mereka sampai di bibir pantai Laut Palabuan Ratu.

“ Terima kasih banyak pak” . . . . . .

Segera saja Sandi dengan cekatan mendirikan tenda yang sedari pagi dipikulnya.

Ayo masuk cepat, istirahat sana!! ! Bentak Sandi kepada Iman.

Dengan senyuman, Iman segera melakukan perintah sang komandan dan diikuti oleh Haikal yang siap mamijat kakinya kembali. Jam 23.45 malam, Iman terbangun dan meneteskan air mata sambil memandang dalam dua sosok manusia yang senantiasa menjadi motivator hidupnya. Ia berpikir bagaimana jadinya hidupnya tanpa mereka yang selalu ada menemani saat suka maupun duka. Mulai saat itulah, ketiganya seakan materi zat padat yang tak dapat terpisahkan oleh apapun.

- Palabuan Ratu, Desember 2010



Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال